Membaca buku ini sebenarnya tantangan tersendiri buatku. Tidak mudah membuka kembali luka lama yang sudah tertutup karena kebetulan cerita di buku ini memiliki kesamaan dengan episode hidupku.
Ale dan Anya digambarkan sebagai pasangan muda yang sudah hidup mapan dan bahagia, ketika pada suatu ketika mereka harus melalui masa sulit bersama. Seperti umumnya pernikahan, pasti seperti naik roller coaster, tantangan apapun kalau dijalani dengan ikhlas bisa dilalui dengan baik. Ale dan Anya sudah berhasil melalui pernikahan jarak jauh karena pekerjaan Ale di perusahaan minyak membuatnya harus bolak balik ke rig di luar negri. Tapi cobaan berikutnya jadi lebih sulit setelah mereka terpaksa kehilangan anak pertama yang sudah dinanti.
Peristiwa pedih yang mereka alami ternyata harus menjauhkan mereka. Di sinilah letak inti cerita buku ini, bagaimana cara mereka terjerat dengan kenangan, mencoba terlihat tegar, dan berusaha untuk tetap terlihat utuh. Padahal tidak. Kenyataannya mereka harus bersandiwara di depan keluarga dan sahabat-sahabat mereka. Anya menjauhi Ale karena sakit hati atas ucapan Ale yang seperti menyalahkan Anya. Ale pun digambarkan masih sangat mencintai istrinya meski sudah matigaya karena didiamkan Anya berbulan-bulan.
Semua orang punya cara untuk berduka, begitu pula Ale dan Anya. Penggambaran karakter keduanya terlihat manis di buku ini, tapi masih sebatas kulit luarnya saja. Anya digambarkan sebagai wanita mandiri yang kuat, dan tetap aktif, padahal sebenarnya kemana-mana selalu bawa baju mendiang bayinya, dan sering tidur di kamar bayi Aidan. Ale malah digambarkan pria yang tegar tapi lembut hati, bahkan tidak berani melongok ke dalam kamar bayi sejak mereka kehilangan Aidan. Tapi jujur, sebenarnya kesedihan seorang ibu yang kehilangan anaknya setelah hamil hampir 4 bulan ngga cukup dengan hanya menatap baju-baju mungil. Kehilangan bayi beberapa minggu akan beda rasanya dengan kehilangan bayi yang lewat trisemester. Kurasa penulis novel seharusnya bisa lebih berhasil menggali sisi emosi dan kerepotan pasca melahirkan Anya sebagai ibu lewat riset mendalam dari seorang ibu yang pernah kehilangan bayi.
Lalu, yang kurang dari buku ini mungkin lebih ke bagaimana akhirnya mereka saling menguatkan satu sama lain. Sampai akhir cerita kayaknya ngga sempat diceritakan prosesnya, padahal menurutku ini hal penting juga. Semua orang tahu kalau kehilangan anak pasti sedih dan pedih, tapi kurang digambarkan bagaimana cara Anya akhirnya yakin bisa percaya lagi pada Ale, kurasa tidak cukup dari nasehat sekilas dari sahabatnya, “Nya, orang yang membuat kita paling terluka biasanya adalah orang yang memegang kunci kesembuhan kita.”. Yah masa sesederhana itu sih?
Critical elevenadalah 11 menit paling kritis dalam pesawat, yakni 3 menit setelah take off dan 8 menit sebelum landing, karena secara statistik 80% kecelakaan pesawat umumnya terjadi dalam rentang waktu sebelas menit itu. Penulis novel ini, Ika Natassa, mengambil analogi menit itu untuk pertemuan dan perpisahan tokoh utama Ale dan Anya. Berhasilkah mereka menyelamatkan pernikahan mereka? Baca sendiri aja ya.
Aku berharap di filmnya nanti akan lebih fokus pada penggambaran watak Ale dan Anya, bagaimana cara mereka menampilkan sisi emosi dan konflik batin sebagai suami istri, dan juga sebagai pasangan yang batal jadi orangtua. Semoga filmnya jauh-jauh dari penggambaran ga perlu semacam betapa mewah jamnya Ale, hadiah cincin berlian, dan segala macam yang sifatnya tempelan.